Senin, 22 Oktober 2012

Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia

Bagian I
Ketika di Pekalongan, SMA kelas tiga
Ke Wisconsin aku dapat beasiswa
Sembilan belas lima enam itulah tahunnya
Aku gembira jadi anak revolusi Indonesia
Negeriku baru enam tahun terhormat diakui dunia
Terasa hebat merebut merdeka dari Belanda
Sahabatku sekelas, Thomas Stone namanya,
Whitefish Bay kampung asalnya
Kagum dia pada revolusi Indonesia
Dia mengarang tentang pertempuran Surabaya
Jelas Bung Tomo sebagai tokoh utama
Dan kecil-kecilan aku nara-sumbernya
Dadaku busung jadi anak Indonesia
Tom Stone akhirnya masuk West Point Academy
Dan mendapat Ph.D. dari Rice University
Dia sudah pensiun perwira tinggi dari U.S. Army
Dulu dadaku tegap bila aku berdiri
Mengapa sering benar aku merunduk kini
Bagian II
Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak
Hukum tak tegak, doyong berderak-derak
Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, ebuh Tun Razak,
Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza
Berjalan aku di Dam, Champs Élysées dan Mesopotamia
Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata
Dan kubenamkan topi baret di kepala
Malu aku jadi orang Indonesia.
Bagian III
Di negeriku, selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomor satu,
Di negeriku, sekongkol bisnis dan birokrasi
berterang-terang curang susah dicari tandingan,
Di negeriku anak lelaki anak perempuan, kemenakan, sepupu
dan cucu dimanja kuasa ayah, paman dan kakek
secara hancur-hancuran seujung kuku tak perlu malu,
Di negeriku komisi pembelian alat-alat berat, alat-alat ringan,
senjata, pesawat tempur, kapal selam, kedele, terigu dan
peuyeum dipotong birokrasi
lebih separuh masuk kantung jas safari,
Di kedutaan besar anak presiden, anak menteri, anak jenderal,
anak sekjen dan anak dirjen dilayani seperti presiden,
menteri, jenderal, sekjen dan dirjen sejati,
agar orangtua mereka bersenang hati,
Di negeriku penghitungan suara pemilihan umum
sangat-sangat-sangat-sangat-sangat jelas
penipuan besar-besaran tanpa seujung rambut pun bersalah perasaan,
Di negeriku khotbah, surat kabar, majalah, buku dan
sandiwara yang opininya bersilang tak habis
dan tak utus dilarang-larang,
Di negeriku dibakar pasar pedagang jelata
supaya berdiri pusat belanja modal raksasa,
Di negeriku Udin dan Marsinah jadi syahid dan syahidah,
ciumlah harum aroma mereka punya jenazah,
sekarang saja sementara mereka kalah,
kelak perencana dan pembunuh itu di dasar neraka
oleh satpam akhirat akan diinjak dan dilunyah lumat-lumat,
Di negeriku keputusan pengadilan secara agak rahasia
dan tidak rahasia dapat ditawar dalam bentuk jual-beli,
kabarnya dengan sepotong SK
suatu hari akan masuk Bursa Efek Jakarta secara resmi,
Di negeriku rasa aman tak ada karena dua puluh pungutan,
lima belas ini-itu tekanan dan sepuluh macam ancaman,
Di negeriku telepon banyak disadap, mata-mata kelebihan kerja,
fotokopi gosip dan fitnah bertebar disebar-sebar,
Di negeriku sepakbola sudah naik tingkat
jadi pertunjukan teror penonton antarkota
cuma karena sebagian sangat kecil bangsa kita
tak pernah bersedia menerima skor pertandingan
yang disetujui bersama,
Di negeriku rupanya sudah diputuskan
kita tak terlibat Piala Dunia demi keamanan antarbangsa,
lagi pula Piala Dunia itu cuma urusan negara-negara kecil
karena Cina, India, Rusia dan kita tak turut serta,
sehingga cukuplah Indonesia jadi penonton lewat satelit saja,
Di negeriku ada pembunuhan, penculikan
dan penyiksaan rakyat terang-terangan di Aceh,
Tanjung Priuk, Lampung, Haur Koneng,
Nipah, Santa Cruz dan Irian,
ada pula pembantahan terang-terangan
yang merupakan dusta terang-terangan
di bawah cahaya surya terang-terangan,
dan matahari tidak pernah dipanggil ke pengadilan sebagai
saksi terang-terangan,
Di negeriku budi pekerti mulia di dalam kitab masih ada,
tapi dalam kehidupan sehari-hari bagai jarum hilang
menyelam di tumpukan jerami selepas menuai padi.
Bagian IV
Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak
Hukum tak tegak, doyong berderak-derak
Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak,
Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza
Berjalan aku di Dam, Champs Élysées dan Mesopotamia
Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata
Dan kubenamkan topi baret di kepala
Malu aku jadi orang Indonesia.
[Taufiq Ismail-1998]
dikutip dari http://lenterahati.web.id/malu-aku-jadi-orang-indonesia.html, pada 22 Oktober 2012
Taufiq Ismail mengingatkan kita bahwa kelahiran bayi merupakan sebuah fenomena sejarah. Bayi merah, yang baru sedetik usianya itu, di negeri kita sudah terlibat langsung ke dalam sejarah politik-ekonomi-hukum negerinya.
Ia langsung duduk dalam posisi pelengkap penderita yang kelak wajib membayar utang.
Termasuk dengan kesehatannya, dengan ketenteraman, dan kesejahteraan yang sudah dirampok orang-orang sebelumnya. tetapi sayang Ia tidak tahu apa-apa. (Sobary, Mohammad:31)
Sudah saatnya kita membawa perubahan bagi negeri ini agar tidak ada lagi korban tak berdosa yang harus mengembannya. perubahan berawal dari kita Kawan, TUNGGU APALAGI??!
Demi anak cucu kita nanti.

Selasa, 02 Oktober 2012

Piknik SHIFTDUA

Dari tadi pagi susyeh buanget ngupload satu gambar tok ke facebook.
Akhirnya aku upload disini aj yaa teman-teman.
Here We Go >>>>>>>>>>>>
Nah, melanjutkan dari rencana yang sempat tertunda, tertunda, dan tertunda lagi, Shiftdua mau jalan-jalan beneran nih.. hehe
semoga jalan-jalan kali ini bisa mengobati rasa penat menghadapi awal semester tua kita (red: semester 7) karena kali ini shiftdua akan mengajak kalian semua ke Pantai Bandengan, Jepara.
Kenapa Bandengan???
karena:
1. Pantai ini masih lestari dan sangat layak disebut Pantai
2. banyak permainannya ada Banana Boat, Kano, Wisata Pulau Panjang, Perahu, dan lain sebagainya
3. Konsumsinya bisa dibilang gratis bero :D sekalian kita bersilaturahmi ke rumah Muhdam Azhar
Nama jalan-jalan kali ini adalah "Piknik Shiftdua". Walau namanya begitu, tapi seluruh Zeroniners yang bermiant boleh ikut kok :) asal pada konfirmasi ya ke Liana (0898 2425 210)
hehehe
Yuk ramaikan acara ini >_0
by: Liana